Senin, 16 Agustus 2010

Lingkungan Harus Diperlakukan Seperti Bunda

Oleh: Aswad Syam

Makassar Senin 16 Agustus 2010...PENGELOLAAN lingkungan, juga memerlukan perubahan pola pikir. Pada sisi inilah, kehadiran seorang antropolog sangat diperlukan untuk memberikan penyadaran kepada manusia bagaimana mengelola lingkungan secara bijak. Peran inilah yang dilakukan Prof Dr Pawennari Hijjang MA, seorang antropolog dari Universitas Hasanuddin.

Ditemui di pojok kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unhas, Pawennari mengungkapkan gagasannya mengenai penyelamatan lingkungan dari sudut pandang antropolog.

Menurutnya, dalam dasawarsa terakhir ini, pengelolaan lingkungan yang melibatkan masyarakat atau lebih dikenal dengan istilah hutan kemasyarakatan, lebih banyak diwarnai kegiatan pembangunan termasuk pembangunan kehutanan.

Dia mengungkapkan, lingkungan secara umum sebenarnya tidak terkontaminasi. Tetapi, setelah manusia mengenal teknologi dan arus globalisasi semakin merambah di berbagai kalangan, termasuk menyentuh masyarakat pecinta lingkungan, sehingga lingkungan kata Pawennari menjadi tercabik-cabik. Kenapa?

"Karena kecenderungan besar manusia mengarah ke tujuan atau kepentingan ekonomi semata, bukan untuk kemaslahatan, juga bukan untuk kepentingan kemanusiaan, serta bagaimana lingkungan itu dijaga agar memberi manfaat," ujar Pawennari.

Oleh karena itu, para antropolog mencoba melibatkan diri, dengan berbagai cara sebagai pendekatan. Yang lazim diungkapkan ahli antropologi lanjut Pawennari, bagaimana pengetahuan lokal itu bisa menjadi primadona untuk tetap menjaga lingkungan lestari. Dia mengungkapkan, manusia yang mendiami bumi ini, juga menjadi perusak lingkungan.

Ini kata Pawennari kelihatan sekali dari pengambil kebijakan yang tidak pernah mau tahu kalau dalam sebuah komunitas ada sebuah kekuatan besar yang disebut pengetahuan lokal. Oleh komunitas tertentu pengetahuan lokal ini dipraktekkan setiap hari, juga disosialisasikan setiap saat ke generasi yang akan datang, sehingga sehingga hutan tetap lestari.

"Contoh kasus, di masyarakat Ammatoa, Baduy, Suku Sasak, Amongmei di Jayapura, Komoro di Jayapura, juga masyarakat Krui. Mereka menganggap bahwa lingkungan itu bunda kita, tanah itu adalah bunda kita.

Bagaimana orang mematuhi dan taat kepada ibu, demikian pula makhluk manusia harus menempatkan tanah dan lingkungan itu. Intinya bagaimana berlaku adil terhadap lingkungan, karena ketika tidak ada kelestarian, maka hancurlah hutan itu," ujar Pawennari.

Lelaki kelahiran Soppeng ini juga mencontohkan reklamasi. Mestinya kata Pawennari, pengambil kebijakan tidak menjadikan reklamasi sebagai sebuah kebijakan pembangunan, tapi bagaimana pengambil kebijakan itu mencipta sebuah hutan dalam kota.

"Kalau hutan bisa kita ciptakan dalam kota, saya kira masyarakat tetap akan menjadikan hutan itu sebagai bunda dengan frame pengetahuan-pengetahuan tradisional dan perkotaan itu tidak semua juga tidak cinta kepada lingkungan yang lestari," papar Pawennari.

Dalam konteks kehutanan lanjut Pawennari, para antropolog juga mengembangkan konsep kelembagaan dengan ciri partisipatif. Artinya, pendekatan itu berciri kemasyarakatan yang penuh dengan muatan lokal seperti social forestry.

"Kalau kita masuk dalam kelompok tradisional, kita akan menemukan organisasi-organisasi kecil yang dalam komunitas dilakukan sebagai frame untuk pengelolaan social forestry," kata ayah dua anak ini. (*)(Fajar Makassar)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar