Kamis, 05 Agustus 2010

Menghapus Emisi Karbon

Menghapus Emisi Karbon

PEMERINTAH Indonesia telah berkomitmen untuk menghapus emisi gas karbondioksida atau CO2 sebesar 26 pesen pada tahun 2020. Emisi gas karbon menjadi penyebab utama pemanasan global dan perubahan iklim. Untuk mewujudkan komitmen itu, pemerintah melakukan konservasi hutan dan lingkungan.

Badan kesehatan dunia, World Health Organization membuktikan, gas karbondioksida yang secara rutin mencapai tingkat tak sehat di banyak kota, dapat mengakibatkan ukuran janin kecil, kematian bayi dan kerusakan otak meningkat. Lamanya seorang wanita hamil terekspos, tergantung pada konsentrasi polutan di udara.

Kebakaran dan alih fungsi hutan, industri peternakan, pembangkit listrik, serta sektor transportasi merupakan penyumbang terbesar emisi karbon. Data tahun 2008, menyebutkan, Indonesia menduduki urutan ketiga dunia sebagai penyumbang emisi gas karbon atau efek rumah kaca dunia, setelah Cina dan Amerika Serikat.

Penyebabnya antara lain akibat hilangnya 2 juta hektare lahan hutan di Tanah Air setiap tahun.Begitu pula, pembukaan hutan di lahan gambut Pulau Kalimantan. Aktivitas penebangan dan kebakaran hutan di Asia Tenggara menyumbang 2 miliar ton karbon dioksida ke udara.

Nilai tersebut setara dengan 8 persen emisi global yang berasal dari bahan bakar fosil. Sekitar 90 persen emisi CO2 dari hutan gambut di Asia Tenggara, disumbangkan oleh Indonesia. Dalam kurun waktu 2003-2008, total sumber emisi karbon dioksida setara dengan 638,975 gigaton!

Selain kebakaran dan penebangan hutan, penyumbang emisi karbon di dunia adalah peternakan. Badan Pangan Dunia PBB, pada tahun 2006 melaporkan, industri peternakan menghasilkan emisi gas rumah kaca yang paling tinggi. Jumlahnya melebihi gabungan dari seluruh transportasi di seluruh dunia, yang hanya 13 persen. Sektor peternakan menyumbang 9 persen CO2.

Selain karbondioksida, sejumlah polutan berdampak buruk terhadap kesehatan. Polutan tersebut adalah gas nitrogen dioksida atau NO2, yang berasal dari sektor transportasi. Begitu pula, gas sulfur dioksida atau SO2, yang berasal dari sektor rumah tangga. Semua emisi gas tersebut menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan manusia.

Wajar bila perhatian dunia tertuju ke Indonesia, berkaitan dengan upaya mengurangi emisi gas karbon. Pemerintah Norwegia, misalnya, menyediakan bantuan dana untuk penghentian sementara atau moratorium alih hutan. Dalam kenyataan, hutan berfungsi menyerap gas karbondioksida yang terlepas di udara.

Selain itu, para ilmuwan yang mengikuti pertemuan tentang konservasi di Sanur, Bali, Rabu (21/7), merekomendasikan agar Pemerintah Indonesia melarang pembukaan lahan gambut. Larangan itu terkait dengan nilai karbon yang tersimpan di lahan gambut itu.

Selama masa larangan tahun 2007-2009, pemerintah tidak boleh mengeluarkan izin konsesi baru untuk hak pengusahaan hutan perkebunan. Di samping itu, jangan terjadi ekspansi ke lahan-lahan yang dilarang.

Para ilmuwan juga meminta semua izin-izin konsensi untuk penebangan hutan terkait dengan moratorium, dievaluasi dengan hati-hati tentang keanekaragaman hayati dan kekayaan karbon yang tersimpan di lahan konsesinya.

Yang menjadi pertanyaan, dapatkah semua rekomendasi itu dilaksanakan dengan bertanggung jawab? ***

Tribun Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar